Kampung naga secara administratif berada di wilayah
Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmlaya, Propinsi jawa Barat.
Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer,
sedangkan dari kota Garut jaraknya sekitar 26 kilometer. Untuk mencapai
perkampungan naga, harus terlebih dahulu menuruni anak tangga yang sudah
ditembok (Sunda Sengked) berjumlah lebih dari 360 anak tangga yang dibuat
berkelok hingga ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 450
dengan jarak kira-kira 500 meter.
Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan
sampai ke dalam areal Kampung Naga, yang biasa disebut Kampung Naga Dalam.
Kampung Naga berada di lembah subur dengan suara gemericik air sungai.
Penduduknya yang bermata pencaharian sebagai petani dan peternak, membuat areal
di sekitar perkampungan disulap menjadi hamparan permadani hijau. Lukisan
Illahi yang tiada tara indahnya berbingkaikan
sungai Ciwulan. Sungai Ciwulan adalah salah satu sungai yang menjadii oase bagi
penduduk Kampung Naga. Sungai inii sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di
daerah Garut.
Menurut data dari pengamatan sesaat, bentuk
permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah
yang bisa dikatakan subur. Luas tanah kampung naga yang ada seluas 1,5 hektar,
sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya
digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali. Alamnya yang
masih asri menjadikan kampung naga menjadi salah satu tempat
yang cozy, nice and warm.
Leluhur Kampung Naga Sembah Dalem Eyang Singaparana. Ia mempunyai enam orang
saudara. Keenam saudara Sembah Dalem Eyang Singaparna adalah:
1. Raden
Kagok Katalayan Ni Lencing Sang Seda Sakti memperoleh warisan Ilmu Kawedukan.
Yakni ilmu yang mengajarkan kekebalan fisik.
2.
Ratu
Kuncung Kudatullah yang disebut juga Eyang Muduk batara Karang, mendapat ilmu kabedasan,
yakni ilmu kekuatan fisik.
3.
Pangeran
Mangkubawang, Memperoleh warisan ilmu kaduniawian.
4. Sunan
Gunung Jati Kalijaga, memperoleh ilmu pengetahuan bertani
5.
Sunan
Gunung Komara, mendapat warisan ilmu kepercayaan dan kapinteran
6.
Pangeran
Kudratullah, menerima warisan ilmu pengetahuan agama islam
Sembah Dalem Eyang Singaparna yang
dikemudian hari menjadi leluhur masyarakat Kampung Naga, menerima seperangkat
benda pusaka kerajaan dari ayahnya. Ia berwasiat agar pusaka tersebut
dipelihara dan dijaga dengan baik supaya tidak jatuh ke tangan musuh. Untuk itu
ayahnya mewariskan ilmu yang mengajarkan hidup sederhana, bersikap rendah hati
dan tidak sombong.
Selain itu asal usul kampung naga
sangat boleh jadi akan terkuak jika sejarah nenek moyangnya ditulis di atas
daun lontar dan salah satu piagamnya yang terbuat dari tembaga masih utuh.
Lempeng tembaga tersebut bukan lempeng asli. Lempeng asli terbuat dari
kuningan. Lempeng tersebut pada tahun 1952 dipinjam oleh pemeritahan Hindia
Belanda di Batavia (Jakarta)
dan tidak dikembalikan. Yang dikembalikan justru duplikatnya yang terbuat dari
tembaga. Benda-benda pusaka yang tersisa dan diharapkan bisa menyingkap sejarah
masa lalu dan asal usul leluhurnya itu pun telah lumat dimakan api ketika
kampung naga dibumihanguskan oleh gerombolan DI/TII Kartosuwiryo. Peristiwa itu
terjadi sekitar tahun 1956.
Sejarah dan asal-usul leluhur masyarakat kampung naga
selama ini lebih banyak disampaikan secara lisan. Dalam kisah tersebut
diungkapkan bahwa karuhun/leluhur masyarakat kampung naga, yakni tokoh yang
mendirikan kampung naga oleh masyarakat setempat dikenal dengan
Sembah Dalem Singaparna. Menurut keterangan Ade Suherlin (Kuncen Kampung Naga)
dan Ateng (Lebe Kampung Naga), Sembah Dalem Singaparna merupakan “Teureuh
Galunggung” (Keturunan Raja Galunggung) yang terakhir.
Judul amanat dari Galunggung itu
menurut Saleh Danasatmita (Dasim Budimansyah ; 1994:1991), digunakan dalam
terbitan museum negeri Jawa Barat pada tahun 1981 karena naskah aslinya tidak
bernama. Keropak tersebut hanya diberi kode MSA (Manuscript Soenda A) dengan
nomor 632. Ada
juga yang menyebutnya naskah Brandes karena cendekiawan itulah yang berhasil
mengumpulkannya untuk koleksi museum pusat. Naskah tersebut tebalnya hanya
tujuh lembar temasuk jilid sehingga pleyte dan poerbadjaraka merasa perlu
mencantumkan kata “Catera Desunt” (tidak ada) lagi pada akhir transkripsi yang
dikerjakannya. Tersirat dugaan dari kedua ahli itu: “Mungkin masih ada
lanjutannya”. Mereka itu pula yang memberikan : “Een Peudo Padjadjaransche
Kroniek” (Tombo Padjadjaran yang Palsu) kepada naskah tersebut. Karena mendapat
cap “Palsu”, maka orang pun merasa tidak perlu memperhatikannya lagi. Terbukti,
isi naskah tersebut bukanlah tombo, melainkan ajaran mengenai pegangan hidup
yang menurut penulis naskahnya dituturkan oleh Rakean Darmasiksa kepada
putranya Sang Lumahing Taman (Yang dipusarakan
di taman). Halaman pertama yang berisi silsilah raja-raja hanya bertujuan
memperkenalkan asal usul tokoh Darmasiksa tersebut.
Bukti sejarah tentang adanya tokoh nu
nyusuk na Galunggung, tersimpan di museum pusat berupa prasasti batu yang
diberi nomor D26. Prasasti ini ditemukan disebuah kabuyutan pada kompleks Bukit
Geger Hanjuang, desa Linggawangi, kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya, pada lereng
selatan gunung Galunggung.
Holle pernah mentranskripsikannya
tahun 1877, tetapi ia tidak berhasil memecahkan isi baris kedua. Kemudian
Pleyte (1911) atas bantuan Prof. Kern, mengumumknan hasil bacaannya. Ternyata,
ia “kehilangan” satu huruf dan salah baca lima
huruf. Tetapi kedua cendekiawan itu sepakat bahwa prasasti tersebut dibuat
dalam tahun 1033 Saka (111M). isi prasasti hanya tiga baris; ditulis dalam
huruf dan bahasa sunda kuno.
Rumatak oleh penduduk setempat disebut
Rumantak. Daerah tersebut, sebelum gunung Galunggung meletus, merupakan
persawahan pada lereng Galunggung. Menurut hasil penelitian panitia “Hari Jadi
Kabupaten Tasikmalaya” yang dipimpin oleh R. U. Sunardjo, SH., Rumantak adalah
bekas ibukota kerajaan Galunggung. Dengan demikian isi prasasti dapat
diterjemahkan sebagai berikut: Pada tanggal 13 bulan Badra tahun 1033 saka,
Ruma(n)tak disusuk oleh Batari Hyang. Kata disusuk dalam hal ini berarti
dikelilingi dengan parit pertahanan, sama halnya dengan berita prasasti
Batutulis tentang Sri Baduga Nyusuk na pakwan.
Jika dihitung dengan penanggalan masehi, prasasti itu
dibuat kira-kira pada tanggal 21 Agustus 2111 masehi. Mungkin sebagai tanda peringatan selesainya
karya Penyusukan tersebut oleh Batari Hyang yang sebagai penguasa Galunggung
saat itu. Hingga kini tanggal 21 Agustus
dianggap sebagai hari jadi Kabupaten Tasikmalaya.
Kisah awal kerajaan Galunggung dimulai
oleh Sempakwaja, (Kisah Kerajaan Galuh; Depdikbud Ciamis; 1997: 5): “Sempakwaja
putera selung Wretikandayun raja Galuh yang pertama (612 masehi). Walaupun ia
sebagai anak sulung, tetapi tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai
Raja Kerajaan Galuh, karena cacat badan, yaitu “ompong” (giginya tanggal, tidak
utuh lagi). Karena itu pula ia dinamakan Sempakwaja (Sempak = tanggal; Waja =
gigi). Yang naik tahta menggantikan ayahnya adalah mandiminyak., adik bungsu
Sempakwaja mendalami agama, dan oleh ayahnya dijadikan “Batara Dangiang Guru”
di Galunggung dengan 13 kerajaan kecil sebagai bawahannya, yaitu: Karajon,
Balamoha, Pagerwesi, Puntang, Kahuripan, Muntur, Pangajahan, Lembuhuyu, Batur,
Balaraja, Parahiyangan, Layuwatang, dan Kuningan”.
Sempakwaja, dalam kapasitasnya selku Batara
Dangiang Guru, mempunyai hak memberkati penobatan raja-raja di Kerajaan Galuh
tidak akan naik tahta tanpa pemberkatan Sempakwaja. Masa “kebarataan” di
Galunggung tidak bertahan lama, karena beralih ke masa kerajaan. Setelah
Sempakwaja hanya berlangsung empat kali pergantian, yaitu Batara Kamengputih,
Batara Kawindu, Batara Wastahayu, dan Batar Hyang, yang merupakan Batara yang
terakhir dan raja Kerajaan Galunggung yang pertama.
Raja yang memerintah Kerajaan Galunggung setelah
Batari Hyang adalah Rakean Darmasiksa, yang disebutkan sebagai penutur agama nu
nyusuk na Galunggung. Ia naik tahta pada
tahun 1175 Masehi. Raja-raja selanjutnya yang memerintah setelah Rakean
Darmasiksa adalah Ratu Ragasuci, Ratu Gulang Sakti, Ratu Sembah Gelek, Ratu
Panyosongan dan yang terakhir adalah Prabu Rajadipintang yang berasal dari
daerah Puntang.
Setelah lolos dari kerajaan para pemberontak,
raja dan pengikutnya yang setia sampai ke suatu tempat dekat muara sungai kecil
yaitu sungai Cikole ke sungai Cihanjatan (sekarang berada di wilayah Desa
Pusparaja, kecamatan Cigalontang Kabupaten Tasikmalaya). Di tempat itu semua
anak dan semua pengikutnya yang setia dikumpulkan. Raja mengungkapkan isi
hatinya dan menyatakan sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan perjalanan, lalu
menugaskan kepada anak-anaknya untuk melanjutkan perjalanan. Kepada anaknya
yang sulung, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Raden Kagok Katalayah Nu
Lecing Sang Seda Sakti, baginda raja membekali “kawedukan” (kekebalan tubuh
dari senjata tajam). Beliau di makamkan di daerah Taraju, Tasikmalaya. Kepada
anaknya yang kedua, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ratu Kuncung
Kudratullah dikenal pula dengan sebutan Eyang Mudik Batara Karang, baginda raja
membekali “kebedasan” (kekuatan fisik). Beliau dimakamkan di daerah
Karangnunggul, Tasikmalaya. Kepada anaknya yang ketiga, yang kemudian hari
dikenal dengan sebutan Pangeran Mangkubawang, baginda raja membekali
kepercayaan keduniawian (kekayaan harta benda). Beliau dimakamkan di Mataram, Yogyakarta. Kepada anaknya yang keempat, yang kemudian
hari dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati Kalijaga, baginda raja membekali pengetahuan pertanian.
Beliau dimakamkan di daerah Cirebon.
Kepada anaknya yang kelima, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Sunan Gunung
Komara, baginda membekali kepintaran (ilmu). Beliau dimakamkan di daerah
Banten. Kepada anaknya yang keenam, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan
Pangeran Kudratullah, baginda raja membekali pengetahuan agama. Beliau
dimakamkan di daerah Godog, Garut. Sedangkan kepada anaknya yang bungsu, yang
bernama Singaparna, baginda raja memberi tugas untuk menjaga pusaka kerajaan
agar tidak jatuh ke tangan musuh.
Setelah selesai menyampaikan amanat
baginda raja pamitan, lalu pergi ke sebuah bukit kecil dan “tilem” di sana. Bukit kecil itu
sekarang dikenal dengan nama Gunung Raja, yang berada di wilayah Desa Pusparaja
sekarang. Anak-anak beserta pengikutnya melanjutkan perjalanan untuk
melaksanakan tugasnya masing-masing.
Singaparna yang mengemban tugas untuk menjaga
dan mengamankan pusaka kerajaan setelah menempuh perjalanan jauh akhirnya
sampai ke suatu tempat yang dianggap aman, yaitu suatu tempat di sebuah lembah
di pinggir sungai Ciwulan, dikelilingi perbukitan yang sunyi senyap. Di tempat
itulah, lokasi Kampung Naga sekarang, ia bersama pengikutnya bermukim. Lokasi
pertama yang dijadikan tempat bermukim itu sekarang dikenal oleh masyarakat
setempat dengan sebutan “tanah depok” (terletak di pinggir sebelah timur
kampung. Nama “Depok” diduga diambil dari nama “padepokan” yaitu bangunan
tempat berguru, yakni bangunan pertama yang dibangun Singaparna beserta
pengikutnya).
Pemilihan lokasi yang tersembunyi itu,
bisa dipastikan dengan maksud agar terhindar dari kontak dengan orang lain yang
dikhawatirkan dapat membahayakan keamanan pusaka kerajaan yang harus dijaga
jangan sampai jatuh ke tangan musuh. Lokasi tersebut pada saat ini saja boleh
dikatakan “nyingkur” (tersembunyi), apalagi pada saat Singaparna bersama para
pengikutnya pertama kali bermukim. Nama “naga” sendiri, yang dipergunakan bagi
nama diri mereka diduga merupakan personifikasi sebagai seekor naga yang sedang
“ngumpi” (bersembunyi) menghindari kontak dengan dunia luar. Perwujudan konsep
tersebut dalam perilaku sehari-hari nyata benar mana kala kita menyelami pola
kehidupan mereka yang amat sangat sederhana (bersahaja, lugu), bahkan menjurus
ke sifat yang fatalistik. Memang ibarat seekor “Naga” yang sedang bertapa di
lembah yang sunyi sepi. Akan tetapi tentunya hal ini, menurut kuncen Kampung
Naga tidak memiliki arti yang demikian, dikarenakan bukti sejarah tentang
Kampung Naga banyak yang hilang dan diantaranya diambil oleh pemerintah Belanda
pada tahun 1927 ke Batavia, yang sampai sekarang tidak ada beritanya. Dan pada
tahun 1956 Kampung Naga dibakar oleh gerombolan DI/TII. Dengan demikian
masyarakat Kampung Naga sendiri “pareumeun obor”, dan yang terselamatkan oleh
sesepuh Kampung Naga pada waktu itu.