Pentingnya Pendidikan Nilai Moral


A. PENDAHULUAN
Sektor pendidikan menjadi kunci utama dalam peningkatan kualitas bangsa. Sebelumnya, pemerintah berstrategi dalam pengembangan pembangunan secara fisik untuk melihat kemajuan bangsanya, namun dalam tataran masa kini peningkatan sumber daya manusia menjadi prioritas dalam parameter kemajuan bangsa.  Tidak ada jalan lain untuk pengembangan tersebut adalah dengan cara peningkatan mutu pendidikan.
Saat ini sistem pendidikan nasional telah disempurnakan dan disesuaikan dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetatuan dan teknologi serta kondisi sosial-budaya. Sarat di dalamnya prinsip-prinsip  pendidikan yang berlandaskan kesatuan dan keutuhan nasional, menjunjung tinggi kepribadian bangsa yang bermartabat dan bermoral, kreatifitas, keterampilan, dan sebagainya.
Dalam Era otonomi daerah yang sedang berjalan membawa implikasi perubahan paradigma pendidikan tinggi. Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah membawa dampak terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam mengembangkan kurikulum, sebagai tindak lanjut dari reorganisasi, reorientasi, dan reposisi lembaga. Hal tersebut adalah untuk mengantisipasi tantangan dan masalah-masalah yang ada dengan orientasi akhir adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan di LPTK.
Mutu pendidikan ditentukan oleh beberapa faktor penting, yaitu menyangkut input, proses, dukungan lingkungan, sarana dan prasarana. Penjabaran lebih lanjut mengenai faktor-faktor tersebut  bahwa input berkaitan dengan kondisi peserta didik (minat, bakat, potensi, motivasi, sikap), proses berkaitan  erat dengan penciptaan suasana pembelajaran, yang dalam hal ini lebih banyak ditekankan pada kreativitas pengajar (guru), dukungan lingkungan berkaitan dengan suasana atau situasi dan kondisi yang mendukung terhadap proses pembelajaran seperti lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar, sedangkan sarana/prasarana adalah perangkat yang dapat memfasilitasi aktivitas pembelajaran, seperti gedung, alat-alat laboratorium, komputer dan sebagainya.
Berkaitan dengan faktor proses, guru menjadi faktor utama dalam penciptaan suasana pembelajaran. Kompetensi guru dituntut dalam menjalankan tugasnya secara profesional. Kemampuan profesional guru dalam menjalankan tugasnya terlihat ketika ia mengikuti pendidikan prajabatan yang ditempuhnya dan pendidikan dalam jabatan (inservice training) yang pernah dialaminya serta pengalaman mengajar atau kepemilikan ketika diakui oleh LPTK untuk melaksanakan tugas profesi di bidang kependidikan.
Menurut Iwa Kutandi (2004 : 2) bahwa studi tentang pendidikan guru diakhir abad ke 20 dan awal abad ke 21 menunjukkan fenomena yang semakin kuat menempatkan guru sebagai suatu profesi. Kondisi nyata kini memandang bahwa guru/keguruan sebagai sebuah profesi, bukan lagi dianggap sebagai suatu pekerjaan (vokasional) biasa yang memerlukan pendidikan tertentu.   Kedudukan seperti ini setidaknya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi internal dan eksternal. Secara internal, terjadi penguatan dalam kedudukan sosial, proteksi jabatan, penghasilan, dan status hukum. Sebagai implikasi posisi ini, maka secara eksternal terjadi harapan dan tuntutan kualitas profesi keguruan, yang tidak hanya diukur berdasarkan kriteria lembaga penghasil (LPTK), tetapi juga menurut kriteria pengguna (users) antara lain asosiasi profesi, masyarakat, dan lembaga yang mengangkat dan memberikan penghasilan.
Profesi keguruan demikian menjadi sebuah ukuran kinerja dan kualitas guru, yang akan berimplikasi terhadap kurikulum pendidikan guru itu sendiri. Beberapa model kurikulum pendidikan guru telah dikembangkan dan diimplementasikan sebagai bukti eksistensi profesi guru yang terus berkembang dan profesional, yakni School Based Teacher Education (SBTE); Academic Based Teacher Education (ABTE); Collaborative Teacher Education (CTE); Performance Based Teacher Education (PBTE); dan Competency Based Teacher Education (CBTE).
School Based Teacher Education (SBTE), adalah model penyelenggaraan pendidikan pendidikan guru yang memiliki ciri dua hal, yaitu: (1) penyelenggaraan pendidikan semata-mata diselenggarakan di sekolah; (2) permasalahan tentang pendidikan guru diserap dari lapangan. Dari dua ciri tersebut, maka kuirkulum yang dikembangkan terbatas kepada kepentingan peserta didik yang dirumuskan oleh sekolah. Model ini juga dapat berkembang menjadi Collaborative Teacher Education (CTE), artinya guru (pamong) di sekolah latihan dapat bekerjasama dengan dosen pembimbing dalam memecahkan persoalan kebutuhan praktikan (mahasiswa pendidikan guru).
Model SBTE ini memiliki kelemahan antara lain: (1) tidak terjadi inovasi di lapangan, karena pendidikan guru hanya mendasarkan lingkungan sekolah; (2) lulusan yang  dihasilkan kurang inovatif,  karena kurang diperkenalkan tantangan dari luar sekolah; (3) pengakuan kualifikasi lulusan terbatas pada lembaga yang menghasilkan, tidak melibatkan lembaga/masyarakat sebagai pengguna.
Competency Based Teacher Education (CBTE), adalah model penyelenggaraan pendidikan guru yang kurikulumnya dikembangkan berdasarkan ukuran kemampuan/kecakapan yang harus dikuasai oleh lulusan. Kurikulum pendidikan ini tidak hanya dikembangkan oleh lembaga penyelenggara, namun yang lebih penting adalah pengakuan dan justifikasi dari lembaga/masyarakat pengguna dan yang mengangkat lulusan. Kelembagaan inilah yang pada dasarnya akan memberikan lisensi (license) bagi lulusan untuk menjalankan tugas profesionalnya. Stanley Elam (dalam Sukmadinata, 2001:207) menyebut kesamaan kompetensi (competence) dengan performansi (performance), yaitu manyangkut unsur-unsur yang berkenaan dengan program pendidikan, pelaksanaan program, dan hal-hal yang bersifat umum.
Pijakan psikologi yang menjadi dasar dalam CBTE adalah behavioristik, yang mengutamakan perilaku yang terukur (measurable) dan teramati (observable) dari keseluruhan kecakapan peserta didik.
Sejak tahun 1980-an, untuk menuju profesionalisme guru, di banyak negara telah dikembangkan dan diimplementasikan kurikulum yang mengarah pada pembentukan kompetensi dasar pendidikan guru (Competency Based Teacher Education) (Natawidjaya, 2002). Esensi dari pengembangan dan implementasi ini adalah bahwa kurikulum yang dikembangkan harus berdasarkan standar nasional, menggambarkan profil lulusan (outcomes) yang jelas, serta mendapatkan pengakuan lembaga atau masyarakat yang akan menggunakan lulusan pendidikan guru.  Hal ini dilakukan agar lulusan pendidikan (guru) memperoleh pengakuan yang tinggi (legitimize) dari pengguna dan pemberi penghasilan. Dalam cakupan yang lebih luas, melalui menerapan CBTE, di samping telah meningkatkan kualitas profesional lulusan, juga lebih penting adalah munculnya pengakuan secara eksternal dari masyarakat pengguna. Pengakuan dari masyarakat pengguna tiada lain adalah pertaruhan profesinalisasi guru. Jika guru dalam menjalankan tugasnnya profesional maka tidak ada kata penolakan terhadapnya dari masyarakat, bahkan ia dielu-elukan sebagai pahlawan pendidikan.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 Bab I, Pasal 1 Ayat 5, menyebutkan bahwa tenaga kependidikan adalah “anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan”. Ayat 6 pasal yang sama disebutkan bahwa tenaga kependidikan adalah “mereka yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan”. Selanjutnya pasal 39 ayat 2  menyatakan bahwa “pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. Kemudian pasal 40 ayat 2 menyatakan bahwa “Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban; a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; b) mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya”.
Undang-Undang tersebut secara tegas menjelaskan bahwa seorang guru atau pendidik harus memiliki kemampuan profesional dalam perencanaan, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan pembimbingan. Secara legalitas, kemampuan-kemampuan profesional yang dipersyaratkan dalam undang-undang tersebut harus dimilki oleh  setiap guru sebagai kemampuan dasar atau “core skills of teaching profession”. Penguasaan satu dan atau dua kemampuan saja belum dikatakan bahwa guru tersebut professional. Guru yang tidak mampu merencanakan walau pun mampu mengembangkan proses pembelajaran secara legal dianggap tidak memiliki kemampuan profesional. Demikian pula mereka yang sanggup merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran tetapi tidak mampu melakukan penilaian hasil belajar adalah juga guru yang tidak memiliki kemampuan profesional yang dipersyaratkan. Guru yang tidak mampu melakukan bimbingan terhadap peserta didik yang mengalami kesulitan belajar adalah guru yang tidak tidak memiliki kemampuan profesional berdasarkan Undang undang tersebut. Sedangkan kemampuan melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat merupakan kemampuan yang bersifat optional bagi guru pendidikan dasar dan menengah namun sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh tenaga pengajar di perguruan tinggi.
Kemampuan profesional seorang guru harus didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman terhadap peserta didik, pemahaman dan kemampuan menerapkan keterampilan dasar mengajar, pengetahuan dan kemampuan untuk memotivasi peserta didik, pengetahuan dan kemampuan untuk menerapkan teori belajar, pemahaman terhadap kurikulum dan kemampuan mengidentifikasi ide dasar kurikulum.


B. HAKEKAT PENDIDIKAN
Wawasan tentang pendidikan sebagai proses belajar sepanjang hayat, menekankan pentingnya pergesaran tanggung jawab belajar kearah siswa/mahasiswa sebagai peserta didik yang merupakan komponen utama dalam proses belajar mengajar.
Tanggung jawab berhasil tindaknya tujuan pendidikan tersebut tidak hanya terletak pada lembaga pendidikan, keluarga dan masyarakat saja, melainkan juga tidak kalah pentingnya adalah siswa/mahasiswa itu sendiri. Bagaimana siswa/mahasiswa mempersiapkan diri dalam kondisi belajar, dan motivasi siswa/mahasiswa untuk belajar sehingga tercapai suatu tujuan yang diharapkan, baik itu tujuan atau harapan siswa/mahasiswa itu sendiri maupun tujuan atau harapan yang telah digariskan dalam tujuan pendidikan.
Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah Subhanaha watta’alla dengan suatu bentuk akal pada diri manusia yang tidak dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.
Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, Pasal 1 Ayat 1, bahwa ”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Menurut William F (tanpa tahun) ”Pendidikan harus dilihat di dalam cakupan pengertian yang luas. Pendidikan juga bukan merupakan suatu proses yang netral sehingga terbebas dari nilai-nilai dan Ideologi”.
Kosasih Djahiri (1980 : 3) mengatakan bahwa ”Pendidikan adalah merupakan upaya yang terorganisir, berencana dan berlangsung kontinyu (terus menerus sepanjang hayat) kearah membina manusia/anak didik menjadi insan paripurna, dewasa dan berbudaya (civilized)”.
Dari pengertian tersebut bahwa Pendidikan adalah merupakan upaya yang terorganisir memiliki makna bahwa pendidikan tersebut dilakukan oleh usaha sadar manusia dengan dasar  dan  tujuan yang jelas, ada tahapannya dan ada komitmen bersama didalam proses pendidikan itu. Berencana mengandung arti bahwa pendidikan itu direncanakan sebelumnya, dengan suatu proses perhitungan yang matang dan berbagai sistem pendukung yang disiapkan. Berlangsung kontinyu artinya pendidikan itu terus menerus sepanjang hayat, selama manusia hidup proses pendidikan itu akan tetap dibutuhkan, kecuali apabila manusia sudah mati, tidak memerlukan lagi suatu proses pendidikan.
Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi digunakan asas/pendekatan manusiawi/humanistik serta meliput keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek fisik – non fisik : emosi – intelektual ; kognitif –afektif psikomotor), sedangkan pendekatan humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan – kekurangannya dll), diperlukan dengan penuh kasih sayang – hangat – kekeluargaan – terbuka – objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun juga.
Melalui penerapan pendekatan humanistik maka pendidikan ini benar-benar akan merupakan upaya bantuan bagi anak untuk menggali dan mengembangkan potensi diri serta dunia kehidupan dari segala liku dan seginya.
Menurut Tilaar (2000 : 16) ada tiga hal yang perlu di kaji kembali dalam pendidikan. Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai schooling belaka. Dengan membatasi pendidikan sebagai schooling maka pendidikan terasing dari kehidupan yang nyata dan masyarakat terlempar dari tanggung jawabnya dalam pendidikan. Oleh sebab itu, rumusan mengenai pendidikan dan kurikulumnya yang hanya membedakan antara pendidikan formal dan non formal perlu disempurnakan lagi dengan menempatkan pendidikan informal yang justru akan semakin memegang peranan penting didalam pembentukan tingkah laku manusia dalam kehidupan global yang terbuka. Kedua, pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan intelegensi akademik peserta didik. Pengembangan seluruh spektrum intelegensi manusia baik jasmaniah maupun rohaniyahnya perlu diberikan kesempatan didalam program kurikulum yang luas dan pleksibel, baik didalam pendidikan formal, non formal dan informal. Ketiga, pendidikan ternyata bukan hanya membuat manusia pintar tetapi yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya dan menyadari hakikat tujuan penciptaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sindhunata (2000 : 14) bahwa tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi manusia yang berbudaya (educated and Civilized human being).
Dengan demikian proses pendidikan dapat kita rumuskan sebagai proses hominisasi dan humanisasi yang berakar pada nilai-nilai moral dan agama, yang berlangsung baik di dalam lingkungan hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa, kini dan masa depan.
Untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat madani yang diridoi Allah swt. tentunya memerlukan paradigma baru. Paradigma lama tidak memadai lagi bahkan mungkin sudah tidak layak lagi digunakan. Suatu masyarakat yang religius dan demokratis tentunya memerlukan berbagai praksis pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang religius dan demokratis pula. Masyarakat yang tertutup, yang sentralistik, yang mematikan inisiatif berfikir manusia dan jauh dari nilai-nilai moral dan agama Islam bukanlah merupakan pendidikan yang kita inginkan. Pada dasarnya paradigma pendidikan nasional yang baru harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global dengan tetap memiliki keyakinan yang kuat terhadap Allah dan Syariatnya. Paradigma tersebut haruslah mengarah kepada lahirnya suatu bangsa Indonesia  yang bersatu, demokratis dan religius yang sesuai dengan kehendaknya sebagai wujud nyata fungsi kekhalifahan manusia dimuka bumi. Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik dan sekurelistik baik didalam manajemen maupun didalam penyusunan kurikulum yang kering dari nilai-nilai moral dan agama harus diubah dan disesuaikan kepada tuntutan pendidikan yang demokratis dan religius. Demikian pula di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, maka proses pendidikan haruslah mampu mengembangkan kemampuan untuk berkompetensi didalam  kerja sama, mengembangkan sikap inovatif dan ingin selalu meningkatkan kualitas. Demikian pula paradigma pendidikan baru bukanlah mematikan kebhinekaan malahan mengembangkan kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan mayarakat dan bangsa Indonesia.


C. MAKNA PENDIDIKAN UMUM DALAM PENDIDIKAN FORMAL
Kemajuan IPTEK sebagai salah satu dampak dari modernisasi, telah menuntut manusia di dunia ini untuk memiliki kemampuan spesialisasi. Tuntutan tersebut yang pada akhirnya menggiring manusia kepada pola pikir, pola hidup, gaya hidup, dan perilaku hidup yang cenderung mengarah pada pola hidup yang materialistic, yang mementingkan kehidupan duniawi, dan cenderung mementingkan diri sendiri, dan bersifat sekuler.
Untuk mengantisipasi dampak negatif dari kemajuan IPTEK dan lajunya arus modernisasi yang begitu cepat, para pemegang kebijakan pendidikan dan praktisi pendidikan harus segera menyadari dan membekali anak didik, dengan kemampuan dasar yang seyogyanya dimiliki oleh setiap individu peserta didik. Kemampuan tersebut berupa kemampuan dalam memahami dan memaknai nilai-nilai esensial yang ada pada dirinya sebagai kaum intelektual, baik sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat, bangsa dan Negara.
Pada awal pertengahan abad ke 20 dikalangan para pengamat pendidikan di Amerika dan Eropa, timbul suatu keresahan dan kegelisahan yang serius tentang nasib dunia pendidikan masa depan. Hasil analisis mereka berkesimpulan bahwa system pendidikan modern telah menghasilkan para saintis dan teknokrat yang handal, tapi tidak melahirkan lulusan yang memiliki integritas kepribadian yang matang. Karena mereka tidak dibekali kemampuan untuk memaknai makna-makna esensial dalam kehidupannya.
Untuk itu dalam sistem pendidikan dewasa ini, perlu membekali peserta didik dengan kemampuan dasar dalam memahami makna-makna esensial yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik, sehingga mereka menjadi manusia yang tangguh dan memiliki kepribadian yang mantap sesuai dengan tuntutan nilai-moral dan norma masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia.
Phenix, P.H. (1964: 4-9) mengatakan bahwa “General Education Should Develop in Evergone” , bahwa Pendidikan Umum wajib dikembangkan pada diri tiap orang, dan pendidikan umum berarti umum untuk tiap orang. Selanjutnya “General Education is the Process of Engendering Essential Meanings”,  bahwa Pendidikan Umum merupakan proses membina makna-makna yang esensial karena hakekat manusia adalah mahluk yang memiliki kemampuan untuk mempelajari dan menghayati makna yang esensial. Makna yang esensial sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Kemudian “to lead to the fulfillment of human life through the enlargement and deepening of meaning”, jadi membimbing pemenuhan kehidupan manusia  melalui perluasan dan pendalaman makna yang menjamin kehidupan, pendidikan yang bermakna kehidupan manusiawi. Selanjutnya “ a complete person should be skilled in the use of Speech, Symbol, and gesture, factually well in formed, capable of creating and appreciating objects of esthetic significance, endowed with a  rich and disciplined life in relation to self and others, able  to make wise decisions and to judge batween right and wrong, and possessed of an integral out look”. Dengan demikian pendidikan umum membina pribadi yang utuh, terampil berbicara, menggunakan lambang dan isyarat yang secara factual di informasikan dengan baik, mampu berkreasi dan menghargai hal-hal yang secara meyakinkan estetika, ditunjang oleh kehidupan yang berharga dan penuh disiplin dalam hubungan pribadi dan pihak lain memiliki kemampuan membuat keputusan yang bijaksana dan memiliki yang benar dari yang salah, serta memiliki wawasan yang integral (memiliki kemampuan dan wawasan luas tentang kehidupan).
Selanjutnya “Six Fundamental Patterns of Meaning emerge from the analysis of the possible distinctive modes of human understanding. These  six patterns may be designated respectively as symbolics, empirics, esthetics, synnoetics, ethics, and synoptics”.
Makna-makna Program Pendidikan Umum berkaitan dengan pola-pola (patern) pada materi pokok instruksionalnya, pola-pola yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Pertama pola simbolik, dengan pola ini anak dimbimbing untuk nantinya dapat memiliki kemampuan dalam berbahasa, membaca angka-angka, mengenal tanda-tanda hitung dan dapat menggunakan simbol-simbol untuk mengekspresikan makna-makna yang terstruktur. Pola ini dapat dicapai dnegan menganjarkan pelajaran bahasa dan matematika.
Kedua pola empirik, dengan pola ini anak dibimbing untuk nantinya dapat memiliki kemampuan dalam mendiskripsikan fakta-fakta empiris, membuat generalisasi atau formulasi teoritis tentang gejala - gejala alam, sosial dan jiwa manusia. Pola ini dapat dipenuhi dengan mengajarkan fisika, ilmu hayat atau biologi,  psikologi dan juga ilmu-ilmu sosial.
Ketiga pola estetik, dengan pola estetik ini anak dibimbing untuk nantinya memiliki kemampuan berapresiasi dan berkreasi. Dengan demikian anak mampu mengapresiasi berbagai objek visual yang mengandung nilai-nilai estetik dalam lingkungan  kehidupannya, serta mampu berkreasi dengan memenuhi syarat-syarat estetika yang telah didalaminya. Untuk dapat mencapai tujuan dengan diterapkannya pola ini kepada anak diajarkan tentang pengajaran seni (musik, drama, lukis, dan visual), kesusastraan dan juga filsafat.
Keempat pola synnoetik, dengan melalui pola ini anak dibimbing untuk nantinya dapat memiliki kemampuan memandang dan menyadari keberadaan nilai-nilai secara langsung dalam arti dapat merasakan dan menyadarinya bahwa keberadaan dirinya diberi arti oleh keberadaan orang lain dilingkungannya, sehingga anak mampu menghayati tentang keberadaan hidup bersama dalam masyrakat. Pola ini dapat dipenuhi dengan mengajarkan filsafat, kesenian, pendidikan agama, dan ilmu sosial.
Kelima pola etika, dengan pola Etika anak dibimbing untuk nantinya memiliki kemampuan tentang moralitas, sehingga dalam hidupnya senatiasa bertindak dengan memperhatikan pertibangan nilai, norma, etika, sopan-santun dan hukum positif yang ada dan dijunjuung tinggi oleh masyarakat. Hal itu akan menjadikan pola fikir, sikap dan tindakannya bersifat etis. Pola etik dapat dipenuhi dengan memberikan etika, moral, filsafat dan Agama.
Keenam pola synoptik, pola ini menetapkan atau menentukan terbentuknya kemampuan dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan nilai-nilai baik dan buruk  pada persoalan yang dihadapinya. Dalam pola ini termasuk kemampuan meyakini dan mengimani sesuatu pandangan hidup. Pola ini dapat dicapai ndengan memberikan pangajaran Agama, moral, sejarah kebudayaan dan juga filsafat.
Oleh karena itu manusia yang dicita-citakan dalam pendidikan umum adalah manusia-manusia yang terampil dan mampu hidup mandiri sebagai proses penghayatan terhadap makna-makna esensial yang ada pada diri manusia.
Klafki, W (Syahidin; 2004: 2) menyatakan bahwa:
   Pendidikan Umum merupakan pendidikan yang komprehensif yaitu mendidik kepala, hati dan tangan. Ia melihat sasaran yang disentuh dalam pendidikan umum adalah potensi-potensi yang dimiliki manusia yaitu rasio, rasa dan tingkah laku. Ketiga hal tersebut dibina secara bersama-sama dalam rangka mewujudkan keutuhan pribadi, bukan menyentuh suatu aspek secara terpisah-pisah.

Sejalan dengan pendapat Klafki, Fakulty Senate (Djahiri, K; 2004: 84) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan umum ‘…aids students in developing intellectual curiosity, strengthened ability to think, and a deeper sense of aesthetic appreciation, in essence, aims to cultivate a knowledgeable, informated, literate human being’. Tujuan pendidikan umum dari pengertian ini, untuk mengembangkan rasa ingin tahu intelektual siswa, meningkatkan kemampuan berpikir dan perasaan apresiasi estetik yang mendalam. Pada hakekatnya general education bertujuan memupuk anak agar berpengetahuan luas, cerdas dan terpelajar. Pendidikan umum juga ditujukan untuk mempersiapkan manusia yang baik sebagai anggota keluarga dan masyarakat yang penuh dengan makna kemanusiaan dalam memenuhi kehidupannya.
Lebih jelasnya perlunya pendidikan umum bagi anak, menurut university of Connecticut (Djahiri, K; 2004: 86) mengemukakan bahwa:
   …students became articulate and acquire intellectual breadth and versatility, critical judgment, moral sensitivity, awareness of era and society, consciousness of the diversity of human culture and experience, and a working understanding of the processes by which they can continue to acquire and use knowledge.

Pendidikan umum perlu dilaksanakan, agar siswa mampu menjalin hubungan dan mencapai keluasan dan kecakapan intelektual. Supaya anak memiliki kemampuan ini, maka perlu bimbingan agar memiliki pertimbangan kritis, kepekaan moral, kesadaran tentang masyarakat zamannya, kesadaran terhadap keragaman budaya, dan pengalaman manusia. Disamping itu anak perlu mendapat pemahaman tentang proses-proses yang harus dilakukan agar secara kontinu memperoleh dan memanfaatkan pengetahuan.
Secara lebih rinci, tujuan pendidikan umum di Indonesia diuraikan oleh Maftuh, B (Mulyana, R. Akbar, S. Setiawan, T; 1999: 117) sebagai berikut:
1)      Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2)      Berjiwa Pancasila, dengan menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila
3)      Berbudi pekerti luhur, berkepribadian, dan berdisiplin
4)      Bekerja keras dan tangguh
5)      Bertanggung jawab
6)      Memiliki rasa cinta tanah air dantebal rasa kebangsaan
7)      Tebal rasa kesetiakawanan sosialnya
8)      Memiliki wawasan yang komprehensif dan pendekatan yang integral dalam menyikapi berbagai permasalahan kehidupan
9)      Memiliki wawasan budaya yang luas tentang kehidupan bermasyarakat
10)  Memiliki kesadaran tentang lingkungan alamiah
11)  Memiliki berbagai jenis nilai hidup, seperti kebenaran, kebaikan, dan keindahan
12)  Memiliki kecerdasan
13)  Memiliki kemampuan berpikir objektif, kritis dan terbuka
14)  Menjadi manusia yang sadar akan dirinya sebagai manusia, sebagai makhluk Tuhan, dan sebagai warga Negara
15)  Memiliki keterampilan
16)  Sehat jasmani dan rohani.
Dengan demikian pendidikan umum di Indonesia merupakan pendidikan yang harmonis, menyeluruh dan terpadu, yang mengembangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotor, dengan menitik beratkan aspek afektif dalam semua segi pendidikannya. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan umum di Indonesia yaitu membina warga Negara Indonesia yang memiliki kepribadian yang baik, terpadu dan terdidik, yang secara singkat disebut manusia seutuhnya (Maftuh, B; dalam Mulyana, R. Akbar, S. Setiawan, T; 1999: 121).